Psikologi Abnormal

Psikologi abnormal adalah salah satu cabang ilmu psikologi yang berupaya untuk memahami pola perilaku abnormal dan cara menolong orang-orang yang mengalaminya. Psikologi abnormal mencakup sudut pandang yang lebih luas tentang perilaku abnormal dibandingkan studi terhadap gangguan mental (atau psikologis).

MEMAHAMI PERILAKU ABNORMAL
Untuk memahami perilaku abnormal, psikolog menggunakan acuan DSM (Diagnostic and statistical manual of mental disorder). DSM adalah sistem klasifikasi gangguan-gangguan mental yang paling luas diterima.  DSM menggunakan kriteria diagnostic spesifik untuk mengelompokkan pola-pola perilaku abnormal yang mempunyai ciri-ciri klinis yang sama dan suatu sistem evaluasi yang multiaksiel. Sistem DSM terdiri dari dari 5 klasifikasi yang juga mempunyai kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan utama. Penilaian perilaku abnormal dapat ditelaah menggunakan berbagai cara (metode) salah satunya metode-metode assessment yang harus reliabel dan valid yang dapat diukur melalui beberapa cara yang tetap memperhitungkan faktor-faktor budaya dan etnik yang juga penting untuk dilakukan. Metode-metode tetap assessment meliputi wawancara klinis, tes psikologi, assessment neuropsikologis, behavioral assessment dan assessment kognitif. Selain itu para peneliti dan klinisi penting unuk mempelajari fungsi fisiologis yang akan mengungkap bagaimana bekerjanya otak dan struktur dari otak.

PENGELOMPOKAN DEFINISI ABNORMAL
  1. Pendekatan statistik, Di atas / di bawah normal di sebut “anormal” bukan abnormal. Istilah ini sering dipakai pada aliran behaviourisme dan kuantitatif
  2. Pendekatan Fungsional, Fungsi – fungsi kepribadian yang ada pada orang yang bersangkutan berada pada taraf yang optimal / tidak.
  3. Pendekatan Kultural, Pendekatan yang melihat abnormalitas dari sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat tertentu

 KRITERIA YANG MENENTUKAN ABNORMALITAS
  1. Perilaku yang tidak biasa, Perilaku yang tidak biasa disebut abnormal . Hanya sedikit dari kita yang menyatakan melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Hal seperti itu hamper dikatakan abnormal dalam budaya kita.
  2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara social atau melanggar norma sosial, Setiap masyarakat memiliki norma – norma / standar yang menentukan jenis perilaku yang dapat diterima dalam beragam konteks tertentu. Perilaku yang dianggap normal dalam satu budaya mungkin dianggap abnormal dalam budaya lain. Satu implikasi dari mendasarkan definisi dari perilaku abnormal pada norma social adalah bahwa norma – norma tersebut merefleksikan standar yang relative bukan kebenaran universal.
  3. Persepsi atau tingkah laku yang salah terhadap realitas, Biasanya sistem sensori dan proses kognitif memungkinkan kita untuk membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar.
  4. Orang – orang tersebut berada dalam stress personal yang signifikan, Kondisi stress personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi seperti kecemasan, ketakutan atau depresi. Namun terkadang kecemasan dan depresi merupakan respon yang sesuai dengan situasi tertentu.
  5. Perilaku maladaptive, Perilaku yang menimbulkan ketidakbahagiaan dan membatasi kemampuan kita untuk berfungsi dalam peran yang diharapkan.
  6. Perilaku Berbahaya, Perilaku yang menimbulkan bahaya bagi orang itu sendiri atau orang lain.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS TENTANG PERILAKU ABNORMAL
  1. Model Psikodinamika, Disebut teori psikoanalisis (psychoanalyic theory), Dikemukakan oleh Sigmund Freud, Hipotesis Strukturalnya adalah keyakinan bahwa kekuatan – kekuatan yang saling bertentangan dalam kepribadian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) struktur yaitu id, ego dan superego. Kesehatan mental adalah fungsi dari keseimbangan dinamis antara struktur – struktur psikis dari id, ego dan superego.
  2. Model – Model Belajar, Dikenal dengan teori behaviourisme. Dikemukakan oleh Ivan Pavlov dan John B. Watson. Berfokus pada refleks yang dikondisikan peran dari belajar dalam menjelaskan perilaku normal maupun abnormal. Dari perspektif belajar perilaku abnormal mencerminkan perolehan atau pembelajaran dari perilaku yang tidak sesuai dan tidak adaptif.
  3. Teori Kogniti – Sosial, Kontribusi teoritikus seperti Albert Bandura, Julian B Rotter dan Walter Mischel. Menekankan peran – peran dari proses berpikir atau kognisi dari belajar melalui pengamatan atau modeling dari perilaku manusia. Manusia memberi pengaruh pada lingkungannya sebagaimana lingkungan memberi pengaruh kepada mereka. Memperluas lingkup dari behaviourisme tradisional. Terlalu sedikit memberi penekanan pada kontribusi genetik terhadap perilaku gagal.
  4. Model Model Humanistik, Dikemukakan oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow. Dalam diri terdapat dorongan untuk self actualization, untuk menjadi apapun yang mampu kita raih. Manusia sebagai actor dalam drama kehidupan bukan reactor. Keyakinan utamanya adalah bahwa perilaku abnormal adalah hasil dari perkembangan konsep tentang self terganggu.
  5. Model – model Kognitif, Model kognitif yang paling menonjol dalam pola perilaku abnormal adalah pendekatan pemrosesan informasi dan model – model yang dikembangkan oleh Psikolog Albert Ellis dan Psikiater Aaron Beck. Distress emosional disebabkan oleh keyakinan yang dimiliki oleh seseorang tentang pengalaman hidup mereka bukan apa yang dialami sendiri oleh mereka.
  6. Model Diatesis Stress, Diatesis adalah suatu kerentanan atau predisposisi terhadap gangguan tertentu. Mengemukakan bahwa masalah – masalah perilaku abnormal meliputi interaksi antara kerentanan dan peristiwa atau pengalaman kehidupan yang penuh stress.

 FAKTOR – FAKTOR PENENTU ABNORMALITAS
Sebab – sebab perilaku Abnormal dapat ditinjau dari beberapa sudut, misalnya berdasarkan tahap berfungsinya dan menurut sumber asalnya. Kedua macam penggolongan tersebut disajikan sebagai berikut :

A. MENURUT TAHAP BERFUNGSINYA
Menurut tahap – tahap berfungsinya, sebab – sebab perilaku abnormal dapat dibedakan sebagai berikut :

  1. Penyebab Primer (Primary Cause), Penyebab primer adalah kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan tidak akan muncul. Misalnya infeksi sipilis yang menyerang system syaraf pada kasus paresis general yaitu sejenis psikosis yang disertai paralysis atau kelumpuhan yang bersifat progresif atau berkembang secara bertahap sampai akhirnya penderita mengalami kelumpuhan total. Tanpa infeksi sipilis gangguan ini tidak mungkin menyerang seseorang.
  2. Penyebab yang Menyiapkan (Predisposing Cause), Kondisi yang mendahului dan membuka jalan bagi kemungkinan terjadinya gangguan tertentu dalam kondisi – kondisi tertentu di masa mendatang. Misalnya anak yang ditolak oleh orang tuanya (rejected child) mungkin menjadi lebih rentan dengan tekanan hidup sesudah dewasa dibandingkan dengan orang – orang yang memiliki dasar rasa aman yang lebih baik
  3. Penyebab Pencetus (Preciptating Cause), Penyebab pencetus adalah setiap kondisi yang tak tertahankan bagi individu dan mencetuskan gangguan. Misalnya seorang wanita muda yang menjadi terganggu sesudah mengalami kekecewaan berat ditinggalkan oleh tunangannya. Contoh lain seorang pria setengah baya yang menjadi terganggu karena kecewa berat sesudah bisnis pakaiannya bangkrut.
  4. Penyebab Yang Menguatkan (Reinforcing Cause), Kondisi yang cenderung mempertahankan atau memperteguh tinkah laku maladaptif yang sudah terjadi. Misalnya perhatian yang berlebihan pada seorang gadis yang ”sedang sakit” justru dapat menyebabkan yang bersangkutan kurang bertanggungjawab atas dirinya, dan menunda kesembuhannya.
  5. Sirkulasi Faktor – Faktor Penyebab, Dalam kenyataan, suatu gangguan perilaku jarang disebabkan oleh satu penyebab tunggal. Serangkaian faktor penyebab yang kompleks, bukan sebagai hubungan sebab akibat sederhana melainkan saling mempengaruhi sebagai lingkaran setan, sering menadi sumber penyebab sebagai abnormalitas . Misalnya sepasang suami istri menjalani konseling untuk mengatasi problem dalam hubungan perkawinan mereka. Sang suami menuduh istrinya senang berfoya – foya sedangkan sang suami hanya asyik dengan dirinya dan tidak memperhatikannya. Menurut versi sang suami dia jengkel keada istrinya karena suka berfoya – foya bersama teman – temannya. Jadi tidak lagi jelas mana sebab mana akibat.

 B. MENURUT SUMBER ASALNYA
Berdasarkan sumber asalnya, sebab – sebab perilaku abnormal dapat digolongkan sedikitnya menjadi tiga yaitu :

1. Faktor Biologis, Adalah berbagai keadaan biologis atau jasmani yang dapat menghambat perkembangan ataupun fungsi sang pribadi dalam kehidupan sehari – hari seperti kelainan gen, kurang gizi, penyakit dsb. Pengaruh – pengaruh faktor biologis lazimnya bersifa menyeluruh. Artinya mempengaruhi seluruh aspek tingkah laku, mulai dari kecerdasan sampai daya tahan terhadap stress.

2. Faktor – faktor psikososial,
a. Trauma Di Masa Kanak – Kanak, Trauma Psikologis adalah pengalaman yang menghancurkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri sehingga menimbulkan luka psikologis yang sulit disembuhkan sepenuhnya. Trauma psikologis yang dialami pada masa kanak – kanak cenderung akan terus dibawa sampai ke masa dewasa.

b. Deprivasi Parental, Tiadanya kesempatan untuk mendapatka rangsangan emosi dari orang tua, berupa kehangatan, kontak fisik,rangsangan intelektual, emosional dan social. Ada beberapa kemungkinan sebab misalnya :1. Dipisahkan dari orang tua dan dititipkan di panti asuhan, 2. Kurangnya perhatian dari pihak orang tua kendati tinggal bersama orang tua di rumah.

c. Hubungan orang tua – anak yang patogenik, Hubungan patogenik adalah hubungan yang tidak serasi, dalam hal ini hubungan antara orang tua dan anak yang berakibat menimbulkan masalah atau gangguan tertentu pada anak.

d. Struktur keluarga yang patogenik, Struktur keluarga sangat menentukan corak komunikasi yang berlangsung diantara para anggotanya. Struktur keluarga tertentu melahirkan pola komunikasi yang kurang sehat dan selanjutnya muncul pola gangguan perilaku pada sebagian anggotanya. Ada empat struktur keluarga yang melahirkan gangguan pada para anggotanya:
1) Keluarga yang tidak mampu mengatasi masalah sehari-hari, Kehidupan keluarga karena berbagai macam sebab seperti tidak memiliki cukup sumber atau karena orang tua tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan secukupnya. 2) Keluarga yang antisosial, Keluarga yang menganut nilai – nilai yang bertentangan dengan masyarakat luas. 3) Keluarga yang tidak akur dan keluarga yang bermasalah. 4) Keluarga yang tidak utuh, Keluarga dimana ayah / ibu yang tidak ada di rumah, entah karena sudah meninggal atau sebab lain seperti perceraian, ayah memiliki dua istri dll.

e. Stress berat, Stress adalah keadaan yang menekan khususnya secara psikologis. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, seperti :
1) Frustasi yang menyebabkan hilangnya harga diri
2) Konflik nilai
3) Tekanan kehidupan modern

3. Faktor – Faktor Sosiokultural
Meliputi keadaan obyektif dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat berakibat menimbulkan tekanan dalam individu dan selanjutnya melahirkan berbagai bentuk gangguan seperti :

a. Suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi oleh kekerasan,
b. Terpaksa menjalani peran social yang berpotensi menimbulkan gangguan, seperti menjadi tentara yang dalam peperangan harus membunuh.
c. Menjadi korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan penggolongan tertentu seperti berdasarkan agama, ras, suku dll

PENGGOLONGAN DAN ASSESMENT PERILAKU ABNORMAL
Penggunaan menggunakan metode DSM (Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorders). Perlaku abnormal diperlakukan sebagai tanda – tanda atau simtom – simtom dari patologi yang mendasari yang disebut dengan ganggan mental.

1. Gangguan kecemasan (anxiety)
Adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Tipe - Tipe Gangguan Kecemasan :
  • Agorafobia
  • Gangguan panic tanpa agoraphobia
  • Gangguan panic dengan agoraphobia
  • Gangguan kecemasan menyeluruh
  • Fobia Spesifik
  • Fobia Sosial
  • Gangguan Obsesif Kompulsif
  • Gangguan Stress pasca Trauma
  • Gangguan Stress Akut

2. Gangguan mood
Mood adalah kondisi keadaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita. Orang dengan gangguan mood akan mengalami gangguan mood yang luar biasa parah atau berlangsung lama dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggungjawab secara normal.

Tipe – Tipe Gangguan Mood
a. Gangguan Depresi Mayor
b. Gangguan Distimik
c. Gangguan Bipolar
d. Gangguan Siklotimik

3. Gangguan Kepribadian
Adalah Pola Perilaku atau cara berhubungan dengan orang lain yang benar – benar kaku. Kekakuan mereka menghalangi untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan eksternal.

Tipe – Tipe Gangguan Kepribadian
a. Gangguan kepribadian yang ditandai dengan perilaku aneh.
b. Gangguan kepribadian paranoid.
c. Gangguan kepribadian schizoid.
d. Gangguan kepribadian antisocial
e. Gangguan kepribadian ambang.
f. Gangguan kepribadian histronik.
g. Gangguan kepribadian Narsistik.
h. Gangguan kepribadian obsesif kompulsif.

4. Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat
Penyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang yang menghasilkan konsekwensi yang merusak. Penyalahgunaan zat dapat berlangsung untuk periode waktu yang panjang dan meningkat menjadi ketergantungan zat.

5. Gangguan Makan
a. Anoreksia Nervosa dan Bulimia Nervosa
b. Gangguan makan berlebihan atau obesitas

6. Gangguan Identitas Gender
Adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Namun pada gangguan identitas gender terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan odentitas gendernya

7. Skizofrenia
Adalah gangguan psikologis yang berhubungan dengan gila atau sakit mental. Hal ini sering menimbulkan rasa takut. Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide yang salah dan konsepsi yang tidak logis. Skizofrenia biasanya berkembang pada masa remaja akhir atau dewasa awal tepat pada saat orang mulai keluar dari keluarga menuju dunia luar. Orang yang mengidap skizofrenia semakin lama semakin terlepas dari masyarakat.

8. Gangguan Abnormal Pada Anak dan Remaja
Gangguan Perkembangan Pervasif
Menunjukkan gangguan fungsi dari berbagai area perkembangan. Gangguan ini menjadi tampak nyata pada tahun – tahun pertama kehidupan.

Autisme
  • ADHD
  • Retardasi Mental
  • Gangguan Belajar
  • Gangguan komunikasi
  • Gangguan Eliminasi

METODE – METODE PENANGANAN
  1. Terapi Psikodinamika, Sigmund Freud mengembangkan model psikoterapi yang disebut psikoanalisis. Terapi psikodinamika membantu individu untuk memperoleh insight mengenai, mengatasi konflik bawah sadar yang dipercaya merupakan akar dari perilaku abnormal.
  2. Terapi Humanistik, Berfokus pada pengalaman klien yang subyektif dan disadari. Bentuk utama dari terapi Humanistik adalah terapi berpusat pada individu (Person Centered Therapy) yang dikembangkan oleh Carl Rogers
  3. Terapi Kognitif, Diantaranya adalah terapi Rasional Emotif.

Definisi Normalitas Psikologi

Kata normal, normality, normalcy, norm, average dan abnormal masuk ke daratan Eropa relatif belum lama. Kata-kata tersebut mulai diperkenalkan dalam bahasa Inggris sekitar tahun 1840. Selanjutnya kata normal tersebut dipakai secara luas antara tahun 1840-1860. Jika konsep normalitas yang selanjutnya dibakukan dalam sebuah kata “normal” muncul di Eropa pada abad 19, lalu pertanyaannya apa yang melatarbelakangi munculnya bempbentukan kata tersebut. Jawabnya adalah ilmu statistik –salah satu cabang ilmu matematika. Menurut Porter (1986), kata statistik muncul pertama kali pada tahun 1749 yang diperkenalkan oleh Gottfried Achenwall sebagai aritmatik politik- penggunaan data untuk kebutuhan negara dalam merancang kebijakan. Konsep ini kemudian beralih fungsi dari bidang politik ke bidang kesehatan ketika Bisset Hawkins memperkenalkan konsep medical statistik pada tahun 1829. Medical Statistik adalah sebuah konsep penggunaan angka untuk menggambarkan kondisi kesehatan seorang pasien.

Selanjutnya seorang ahli statistik Prancis Adolphe Quetelet (1796-1849) membakukan konsep normalitas pada pola pikir masyarakat. Dia mengatakan bahwa “law of error” yang digunakan oleh para ahli astronomi dalam menentukan posisi bintang dengan menghitung masing-masing kekuatan cahaya dari seluruh bintang dan kemudian mengukur rata-ratanya, juga dapat diaplikasikan pada manusia untuk mengukur berat dan tinggi mereka. Kemudian Quetelet merumuskan konsep yang diberi nama “l’homme moyen” atau manusia rata-rata. Konsep manusia rata-rata ini kemudian diadopsi oleh seluruh masyarakat di seluruh dunia, dimana ukuran rata-rata disesuaikan dengan kondisi masing-masing masyarakat di setiap negara. Selain itu Quetelet juga memperkenalkan konsep “kelompok dibawah rata-rata” yang dia sebut “les classes moyen”.

Dua teori normalitas yang disodorkan Quetelet tersebut yang kemudian memunculkan konsep tentang kecacatan. Sebuah konsep yang didasarkan pada karakteristik rata-rata manusia. Karakteristik yang lebih menekankan pada kondisi fisik manusia seperti berat ,tinggi, dan bentuk tubuh. Maka jika ada salah satu kelompok atau individu dalam masyarakat yang memiliki karakteristik diluar karakteristik rata-rata, maka mereka digolongkan sebagai kelompok atau individu yang “tidak normal”. Konsep ini kemudian berpengaruh pada pola pikir masyarakat kita terutama para ahli kesehatan dalam melihat kecacatan. Mereka berfikiran bahwa sesuatu yang berada diluar standard kenormalan harus dirubah atau disesuaikan untuk menjadi normal. Maka konsep rehabilitasi fisik ditawarkan oleh mereka sebagai solusi penyelesaian persoalan kecacatan. Operasi medik dilakukan terhadap mereka yang memiliki bentuk kaki ataupun tangan yang berbeda dari kebanyakan orang.

DEFINISI NORMALITAS PSIKOLOGI
Definisi normalitas psikologis seseorang adalah fungsi mental yang akurat dan efisien, meliputi :
  1. Kognisi
  2. Motivasi
  3. Perilaku
  4. Emosi.
  5. Self Awareness
  6. Self Control
  7. Self Esteem
  8. Hubungan Sosial Berdasarkan Afeksi
  9. Produktivitas dan kreativitas


KRITERIA PRIBADI YANG NORMAL
Deskripsi tentang pribadi yang normal dengan mental yang sehat dituliskan dalam satu daftar criteria oleh Maslow and mitelmann dalam bukunya “ Principle of Abnormal Psychology “, yang kami kutip antara lain sebagai berikut :
  1. Memiliki perasaan aman (sense of security) yang tepat. Dalam suasana sedemikian dia mampu mengadakan kontak yang lancer dengan orang lain dalam berbagai bidang.
  2. Memiliki penilaian diri (self evaluation) dan insight/wawasan rasional. Memiliki harga diri yang cukup, dan tidak berkelebihan. Memiliki perasaan sehat secara moril, tanpa ada rasa-rasa berdosa dan memiliki kemampuan menilai tingkah laku manusia lain.
  3. Memiliki spontanitas dan emosionalitas yang tepat. Mampu menciptakan hubungan yang erat, kuat dan lama, seperti persahabatan, komunikasi social dan relasi cinta. Dia mampu mengekspresikam rasa kebencian dan kekesalan hatinya tanpa kehilanagan kontrol terhadap diri sendiri.
  4. Mempunyai kontak dengan relitas secara efisien. Yaitu kontak dengan dunia fisik/materil, tanpa ada fantasi dan angan-angan yang berlebihan, karena dia memiliki pandangan hidup yang realistis dan cukup luas tentang dunia manusia.
  5. Memiliki dorongan-dorongan dan nafsu jasmaniah yang sehat. Memiliki kemampuan untuk memenuhi dan memuaskannya. Ada kemampuan dan gairah untuk bekerja, tanpa dorongan yang berlebih-lebihan dan dia than menghadapi kegagalan-kegagalan, kerugian-kerugian dan kemalangan.
  6. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup. Dia bisa menghayati motif-motif hidupnya dalam status sadar. Dia menyadari nafsu-nafsu dan hasratnya, cita-cita dan tujuan hidupnya yang realistis, dan bisa membatasi ambisi-ambisi dalam batasan-batasan kenormalan.
  7. Mempunyau tujuan/obyek hidup yang adekuat. Dalam artian, tujun hidup tersebut dapat bisa dicapai dengan kemampuan sendiri, sebab sifatnya realistis dan wajar.
  8. Memiliki kemampuan untuk belajar dri pengalaman hidupnya. Yaitu ada kemampuan menerima dan mengolah pengalamannya tidak secara kaku. Juga ada kesanggupan belajar secara spontan, serta bisa mengadakan evalusi terhadap kekuatan sendiri dan situasi yang dihadapinya, agar supaya ia sukses.
  9. Ada kesanggupan untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan dari kelompoknya tempat dia berada. Sebab dia tidak terlalu berbeda dari anggota kelompok lainnya (tidak terlampau menyimpang). Dia mampu mengekang nafsu-nafsu serta keinginan-keinginan yang dianggap sebagai tabu dan larangan oleh kelompoknya.
  10. Ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan. Namun demikian diamasih tetap memiliki originalitas (keaslian) serta individualitas yang khas dan bisa membedakan antara perbuatan buruk dan yang baik.
  11. Ada integrasi dalam kepribadian. Ada perkembangan dan pertumbuhan jasmaniah dan rohaniah yang bulat. Disamping itu dia memiliki moralitas dan kesadaran yang tidak kaku sifatnya flexsible  terhadap group dan masyarakatnya.

Faktor-Faktor Resiliensi



Faktor Resiliensi Berdasarkan Grotberg (1995: 15) ada tiga kemampuan atau tiga faktor resiliensi yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.

I. I Have

Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), anak membutuhkan dukungan eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience.

Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut :


1)      Trusting relationships (mempercayai hubungan)

Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua.

2)      Struktur dan aturan di rumah

Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan anak mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut.

3)      Role models

Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan anak tersebut dengan aturan-aturan agama.

4)      Dorongan agar menjadi otonom

Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak menjadi otonom. Mereka memuji anak tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen anak, sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom.

5)      Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan.

Anak-anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.

II.    I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak.  Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari  I Am yaitu :

1)      Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik

Anak tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.

2)      Mencintai, empati, dan altruistik

Anak mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Anak merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan.

3)      Bangga pada diri sendiri

Anak mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Anak tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.

4)      Otonomi dan tanggung jawab

Anak dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Anak merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.

5)      Harapan, keyakinan, dan kepercayaan

Anak percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Anak merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Anak mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi.

III.   I Can

“I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu :

1)      Berkomunikasi

Anak mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain.

2)      Pemecahan masalah

Anak dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.

3)      Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan

Anak dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.

4)      Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain.

Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi

5)      Mencari hubungan yang dapat dipercaya

Anak dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.
Older Posts
© Copyright RahadianWibowo
Back To Top